Minggu, 23 Agustus 2020

#IniUntukKita - 3 Alasan Fundamental Mengapa Milenial Perlu Melek Literasi Ekonomi

Milenial. Siapa yang nggak kenal? Generasi yang memiliki karakteristik usia saat ini di antara 20 hingga 30 tahun, dengan stigma yang terkenal sebagai generasi pemalas, manja, individualis, hobi pindah kerja, dan tingkat konsumsinya yang tinggi. Bukan tanpa alasan memang, generasi ini bisa dicap cukup miris. Terlahir berdampingan dengan perkembangan teknologi selalu menjadi alasan utamanya. 

Berbicara mengenai generasi milenial, tentu sudah tidak asing dengan istilah YOLO - You Only Live Once. Gaya hidup YOLO ini memicu budaya instan dengan alasan karena hidup cuma sekali, jadi kapan lagi bisa beli-ini-beli-itu, kapan lagi bisa senang-senang, kapan lagi bisa melakukan-ini-itu-layaknya-sultan, sehingga ya-sekarang-saatnya. Begitulah tren saat ini. YOLO selalu menjadi alasan pembenaran kaum milenial.

Layaknya dua sisi koin mata uang, generasi milenial tentu memiliki nilai-nilai positif juga. Dan alangkah baiknya, bila kita seimbang melihat kedua sisi tersebut, sehingga muncul sebuah solusi. Seperti kata Bu Tejo berikut ini. Haha...

Berkaca dari Einstein, "... if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.”  Begitu juga dengan melihat milenial. Generasi ini tumbuh dengan kemampuan digitalnya yang lebih daripada generasi sebelumnya. Hal tersebut juga lah yang telah membawa perubahan pada berbagai lini kehidupan sehingga timbul peluang kerja baru, bisnis baru dan hal-hal baru lainnya.

Melihat mulai masuknya Indonesia dalam era bonus demografi dimana populasi milenial menyentuh sepertiga dari total populasi. Maka, seluruh pelaku industri terutama dalam sektor keuangan seharusnya dapat menggarap potensi yang menggiurkan dari generasi milenial ini.

Di sisi lain, generasi milenial harus melek dengan literasi ekonomi, sehingga tidak mudah terjerumus oleh oknum nakal yang dapat membawa mereka ke jalur yang salah. Dan juga, diharapkan milenial mampu mendukung perkembangan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik dan memiliki daya saing secara global.

Menurut Girls Inc. Durham, Canada, economic literacy is the ability to use basic economic concepts to make decisions about earning, saving, spending and sharing money. Hal ini berkaitan dengan bagaimana menentukan keputusan ekonomi sehari-hari, membaca kebijakan ekonomi, dan paling sederhana, bagaimana mengalokasikan keuangan kita sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan saja. Yang pada akhirnya, dapat membantu kita mempersiapkan masa depan yang lebih baik melalui penentuan investasi yang sesuai. Mengapa harus ekonomi? Jawabannya sederhana, karena ekonomi selalu bersentuhan dengan segala aktivitas rutin kita. Lalu, mengapa milenial harus melek dengan literasi ekonomi ini? Berikut akan dibahas selengkapnya.

 PROYEKSI POTENSI BONUS DEMOGRAFI 

Alasan pertama, berkaitan dengan proyeksi atas potensi dari adanya bonus demografi di Indonesia. Bonus demografi merupakan kondisi dimana jumlah angkatan kerja (usia produktif yaitu 15-64 tahun) lebih besar dari jumlah penduduk tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). 

Kalau kita kembali fokus pada generasi milenial (usia 20 – 30 tahun), didapatkan hampir 35% dari populasi usia produktif merupakan generasi milenial. Dari sisi ini, generasi milenial menjadi potensi besar Indonesia di masa depan. Merekalah yang nantinya akan menjadi penerus perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, pasti sudah tidak jarang terdengar di telinga kalian, bahwa banyak perusahaan, industri, lini bisnis dan lapangan kerja lainnya mulai melakukan penyesuaian dengan karakter dari generasi milenial ini. Dari mulai menciptakan working space yang nyaman dan artistik hingga jam kerja yang lebih fleksibel. Berbagai pendekatan juga dilakukan seperti penggunaan media sosial dan juga influencer. Itulah mengapa tik-tok tidak asing lagi ditemukan di berbagai perkantoran. Haha...

Berbicara mengenai potensi, dengan melek literasi ekonomi, diharapkan milenial dapat berkontribusi dalam transformasi digital di berbagai sektor industri, sehingga dapat mempercepat pembangunan perekonomian Indonesia. Akselerasi ini juga diperlukan dalam rangka mempersiapkan industri yang sesuai dengan perkembangan zaman, dan ramah dengan generasi Z - generasi setelah milenial. Sebagai contohnya, bisa dilihat dari data fitur dompet digital yang diinginkan generasi Z dan Milenial, serta pertumbuhan pengguna internet dan e-commerce berikut.


Dengan melihat pesatnya pertumbuhan digital ini, milenial menjadi tonggak penting perubahannya. Akan tetapi, misalnya dengan melihat bahwa Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan e-commerce tercepat nomor 1, jangan sampai masyarakat Indonesia ke depan menjadi konsumtif dan malah menjadi ladang bisnis negara lain dengan menarik keuntungan dari Indonesia. Untuk itulah, literasi akan ekonomi sangat diperlukan untuk mempersiapkan baik pelaku ekonomi maupun lini bisnis ekonomi masa depan.

 PEMAHAMAN AKAN TEKNOLOGI - JEMBATAN GENERASI 

Alasan kedua, berkaitan dengan pemahaman akan teknologi digital yang dimiliki oleh generasi milenial, juga perannya sebagai penghubung antara dua generasi yang jauh berbeda. Satu pihak lahir belum mengenal teknologi digital, sedangkan yang lain sudah mengenalnya. Padahal, lini bisnis yang ada saat ini, juga sudah ada sejak dahulu kala. Oleh karena itu, perlu adanya jembatan dari kedua generasi tersebut untuk menjaga sustainability daripada lini bisnis tersebut. 

Transformasi digital semakin penting terutama dalam kondisi pandemi ini. Seluruh industri yang masih bertahan hingga saat ini, pasti merupakan industri yang bersentuhan dengan digital. Ketika semua orang tidak dapat bebas berkeliaran di luar sana, karena takut akan terinfeksi virus COVID-19, tidak ada pilihan lain selain beralih pada pemasaran digital.

Namun, di sisi lain penggunaan teknologi digital juga kan mengurangi penggunaan tenaga manusia. Hal ini akan berimpak pada ekonomi daripada manusia itu sendiri, sehingga perlu adanya keseimbangan dalam membuat keputusan ekonomi, yang menjadi hasil kolaborasi pikiran generasi non-digital (X dan baby boomer), transisi (milenial) dan generasi digital (Z). Itu sebabnya literasi ekonomi sangat diperlukan bagi generasi milenial.

 SIKLUS KEHIDUPAN MANUSIA 

Alasan ketiga, berkaitan dengan individu milenial sendiri. Pada saat ini, kita boleh berbangga dengan usia produktif yang berlimpah. Tapi, lambat laut usia milenial akan bertambah. Kalau kita memperhatikan pengelompokan penduduk berdasarkan usianya, maka pada setelah melewati usia produktif, mereka akan kembali lagi ke usia non-produktif, yang artinya sangat perlu bagi milenial untuk mempersiapkan ekonomi di masa tuanya.

Persiapan tersebut harus dapat dilakukan sedini mungkin agar tidak menjadi beban di kemudian hari. Kita selaku generasi milenial tentu sudah ada yang merasakan bagaimana rasanya menjadi generasi sandwich yang mana sudah terbebani biaya hidup sendiri, dan masih juga terbebani oleh biaya hidup orang tua, maupun anak-anak. Rasanya seperti ditekan dua sisi sekaligus, kan?

Harapannya dengan melek literasi ekonomi, milenial dapat mengurangi permasalahan ini. Bagaimana caranya? Kunci utamanya adalah memahami dan menerapkan manajemen keuangan yang baik dan benar. Dengan manajemen keuangan, maka masalah besar pasak daripada tiang, dana darurat, pensiun, asuransi, pendidikan dan investasi semuanya akan terjawab.


Selasa, 16 April 2019

Sepenggal Perjalanan Permusikan yang Belum Usai

Penulis meyakini bahwa sebagian besar dari kalian tentunya penikmat musik, walaupun tentunya antara satu manusia dengan yang lain memiliki selera musik atau genre yang tidak sama. Perbedaan tersebut juga dapat terlihat dari koleksi lagu, style bermusik, hasil karya musik, prestasi dalam musik dan sebagainya yang semuanya itu semakin memperkaya cita rasa musik yang ada di dunia ini. Jika kalian ditanya, apakah makna musik bagi kalian? Tentunya, kalian akan memiliki kisah tersendiri yang sangat khas dan mungkin cukup menarik atau bahkan menginspirasi orang lain. Dan kali ini, perkenankan penulis, membagikan sepenggal kisah mengenai musik dalam kehidupan penulis.

Sewaktu kecil, harus penulis akui bahwa musik bukanlah hal esensial. Penulis memaknai musik sebagai karya saja, yang mana ketika suka, ya penulis akan mengatakan suka, dan ketika tidak, ya penulis akan dengan lantang mengatakan tidak. Suatu niat untuk menggeluti dunia musik pun tidak pernah terlintas. Semua pemikiran yang tercipta pada ujungnya membuat penulis beranggapan bahwa musik adalah hal sederhana, bahkan lebih sederhana dari akademik. Penulis memang pada saat itu lebih mencintai dunia science. Benar-benar bukan latar belakang seorang musisi kan? Sampai disini, terkadang penulis ingin mengulangi masa kecil itu dan menggantikan semua kisah masa lalu tersebut dengan belajar musik. Tak hanya itu, kedua orang tua dan keluarga penulis juga tidak memiliki background musik, sehingga penulis merasa bahwa ini merupakan hal yang wajar apabila darah musik tidak ada dalam raga ini.

Penulis masih ingat betul, alat musik pertama yang penulis miliki adalah harmonika. Sebuah alat musik tiup yang bagi penulis apabila dimiliki oleh ahlinya, akan menjadi sangat luar biasa. Namun, faktanya, si harmonika malang itu ternyata tidak berada di tangan yang tepat. Tak ada perkembangan yang bisa dinilai baik, bahkan sampai suatu saat harmonika tersebut lenyap ditelan keadaan. Ada suatu usaha untuk mencarinya kembali, namun itu semua sia-sia. Penulis berpikir, mungkin si harmonika merasa tidak ada gunanya bersama penulis, dan pergi mencari orang yang lebih berbakat. Kemudian, alat musik kedua yang penulis miliki adalah sebuah recorder. Masih sebuah alat musik tiup yang sangat sederhana. Sangat sederhana karena memang tidak pada orang yang tepat. Dari sang recorder, penulis diajarkan sebuah lagu nasional, Ibu Kita Kartini. Siapa gerangan yang tidak mengetahui lagu tersebut? Apabila kalian tidak tahu, silakan pergi dari Indonesia. Hehe.

Tidak hanya lagu tersebut, recorder juga mengajarkan penulis mengenai lagu daerah, Gambang Suling. Memang, lagu-lagu yang penulis dapat mainkan hanyalah sebuah lagu sederhana. Bahkan, dengan belum majunya teknologi internet di jaman tersebut, dan masih kecil serta pendeknya pemikiran penulis serta ditambah dengan tidak adanya background musik di keluarga, akhirnya tidak ada eksplorasi lebih yang penulis lakukan dalam bermusik. Pada suatu waktu (kira-kira di kelas 3 SD), penulis akhirnya mengenal satu alat musik baru, yaitu pianika. Sebuah alat musik tiup melodis yang memiliki tuts. Sedikit banyak, aku belajar musik dari sekolah. Itupun hanya sebuah kegiatan pelengkap nilai pelajaran KTK (Keterampilan Tangan dan Kesenian) yang pada saat itu namanya diubah beberapa kali. Bahkan, KTK pun seakan hanya mengajarkan lagu-lagu nasional yang pada dasarnya menanamkan rasa cinta tanah air kepada anak-anak SD seusia penulis pada saat itu. Bahkan, penulis lebih menggelut dunia menggambar daripada musik. Penulis bahkan masih ingat beberapa wajah pahlawan yang pernah digambar yaitu Si Singamangaraja XII, R.A. Kartini, Ir. Soekarno, dan satu gambar lagi penulis lupa siapa gerangan. Begitu bangganya, gambar tersebut pun penulis tempelkan di dinding kamar hingga berbulan-bulan sampai gambar tersebut akhirnya harus tiada. Kebanggaan terbesar lainnya adalah ketika gambar pemandangan dengan media kertas gambar ukuran A3 dengan goresan sebuah pensil serta spidol warna-warni karya penulis, dipilih untuk dipajang di ruang kelas. Pada saat itu, dari 27 karya yang ada, 6 diantaranya memperoleh nilai terbaik dan menjadi dekorasi interior kelas. Sampai detik ini, hati berkata bahwa duniaku mungkin bukan di musik, namun duniaku adalah dunia rupa.

Bertahun-tahun berlalu, di bangku SMP, penulis kembali menemui sebuah pelajaran kesenian. Pada saat itu, kurikulumnya sudah cukup tersusun dengan baik, bahkan dalam satu semester meliputi 4 seni sekaligus yaitu rupa, musik, tari dan drama. Namun, di kelas 7 (1 SMP), penekanan terbesar adalah seni rupa dan seni musik karena memang basic guru seni yang mengajar berada di kedua arena itu. Bahkan pada saat itu, penulis mengikuti sebuah perkumpulan paduan suara dadakan yang siapkan untuk mengisi acara di gereja-gereja. Penulis cukup bersyukur karena sedikit banyak, penulis memperoleh pengetahuan musik. Menginjak kelas 8, ternyata guru seni penulis harus digantikan karena beliau harus pensiun. Penggantinya adalah seorang guru musik yang sangat menakjubkan. Beliau memang menggeluti musik, dan sangat piawai bermain gitar dan keyboard. Satu pertanyaan beliau yang penulis sesali adalah ketika beliau bertanya 'Adakah yang tertarik untuk belajar Gitar?'. Seketika, semua yang ada di kelas tidak ada yang menjawab ataupun mengangkat tangan. Pada saat itu, memang penulis masih memandang bahwa akademik lebih penting daripada bermusik. Alhasil, beliau hanya mengajarkan open string dan memainkan gitarnya dengan lagu yang beliau sukai. Tidak berlangsung lama, ternyata beliau akhirnya digantikan lagi dengan guru seni yang baru. Hal yang penulis ingat adalah beliau memiliki anak perempuan yang bertalenta luar biasa dalam bernyanyi. Bahkan, anak beliau tersebut sering mengisi kegiatan-kegiatan di sekolahnya. Tidak hanya itu, beliau lah yang menjadi batu pijakan penulis untuk akhirnya belajar bernyanyi walaupun secara autodidak. Masih membekas jelas, pada saat itu Ujian Akhir, penulis diminta untuk menyanyikan sebuah lagu bebas. Dan kalian tahu apa yang penulis lakukan? Hanya terdiam memegangi perut sambil berusaha mengeluarkan suara untuk bernyanyi. Jujur, penulis merasa sangat nervous dan tidak terbiasa dengan bernyanyi tunggal. Ketika bernyanyi secara koor, penulis akan merasa lebih lepas karena pada saat itu penulis berpikir suara yang terdengar adalah paduan dari berbagai suara. Berbeda dengan menyanyi perseorangan seperti ujian ini, dan pada saat itu penulis juga merasakan betapa tidak berkualitasnya suara penulis (bahkan sampai detik ini). Entah dengan sadar atau tidak, beliau mengatakan 'memang bukan bakatmu nyanyi, tapi kalo nggambar kok bagus'. Ya, pada saat itu penulis akui memang benar, karena ujian seni yang masing-masing aspeknya diujikan hanya seni rupa lah yang memperoleh nilai terbaik. Penulis menggambar dengan metode yang sama penulis lakukan saat SD, yaitu media kertas A3 dengan pensil serta spidol warna-warni. Pada detik itu juga, penulis bertekad untuk mempelajari seni musik. Aneh memang, mengapa bukan seni rupa? Entah, namun pada saat SMA ketika penjurusan seni dimulai, penulis pun sempat bingung harus memilih rupa atau musik, namun berbekal keinginan untuk mematahkan kata-kata guru seni SMP penulis tersebut, akhirnya penulis memilih terjun ke dunia musik. 

Di masa SMA, penulis memang bukanlah seseorang yang terkenal dalam bermusik, namun dengan kepribadian yang introvert ini, penulis perlahan-lahan mempelajari musik. Dasar yang diajarkan di SMA untuk alat musik adalah keyboard, dan teori musiknya secara garis besar terdiri dari not balok, tangga nada, running chord, dan cipta lagu. Penulis pun merasa berada di kelas bawah, dan memang faktanya, kutukan si harmonika itu sepertinya terus mengalir. Dalam dua pentas seni musik yang diadakan pada Ujian Semester dan Ujian Praktek pun, penulis hanya bermain glockenspiel (padahal, pemain glockenspiel juga banyak yang keren). Sebuah instrumen perkusi dengan bilah metal horizontal dengan berbagai ukuran yang dipukul dengan sebuah pemukul dan menghasilkan suara metal bernada yang jernih. Tidak hanya itu, dalam tugas penciptaan lagu pun, lagu ciptaan penulis bukan termasuk top lists. Sebuah kebanggan tersendiri memang apabila lagu ciptaannya masuk dalam top lists karena lagu-lagu tersebutlah yang nantinya diaransemen oleh masing-masing grup untuk ditampilkan dalam pentas Ujian Praktek Kelulusan. Di masa SMA, juga ada paduan suara yang bernama S'vana Adhikari Choir. Walaupun pada saat aubade, penulis ikut ambil suara di dalamnya, namun penulis bukanlah anggota S'vana Adhikari Choir karena yang termasuk di dalamnya adalah orang-orang paduan suara inti. Keinginan besar untuk mengikuti paduan suara itu sangat besar, namun apa boleh buat apabila tidak terpilih dalam anggota inti. Namun, penulis terus bersyukur karena lewat seni musik pun, penulis masih memperoleh berbagai teori musik dan bernyanyi.

Perlu kalian ketahui, sejak SMP penulis juga suka menonton acara-acara talent show terutama yang berhubungan dengan dunia tarik suara. Dari mereka-mereka yang tampil, seakan memberikan motivasi dan inspirasi bagi penulis untuk terus belajar, belajar dan belajar. Dari mulai AFI, Idola Cilik, Indonesia Idol, Indonesia Got Talent, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan sampai detik ini, penulis masih terus mengikuti beberapa diantaranya melalui kanal Youtube karena tidak ada TV di kota perantauan ini. Mungkin ini sharing singkat mengenai dunia musik yang bisa penulis bagikan kepada kalian. Bagaimana dengan perjalanan dunia musik kalian?

Jumat, 06 Januari 2017

Prasangka, Sederhana namun Tak Terduga



Setiap manusia tentunya suka berprasangka. Ya, aku akan jawab sangat tentu. Bahkan, tak sedikit juga orang-orang membuat suatu komunitas atau grup yang pada dasarnya hanya untuk membahas atau membicarakan isu-isu di sekitarnya terutama berprasangka terhadap sesuatu hal atau orang lain. Ini benar-benar terjadi, dan bukan hanya perempuan yang notabenenya mendapakan stempel CEREWET atau SUKA NGRUMPI, tak sedikit juga laki-laki yang suka bergosip-ria atau yang trend disebut NYINYIR. Fenomena ini kadang terjadi juga secara tidak sadar, ketika kita sedang asik bergurau dengan teman-teman dekat kita, tiba-tiba saja ada ucapan atau pembicaraan yang mengawali desas-desus di sekitar kita. Kondisi mengawali ini biasa kita sebut memantik pembicaraan. Prasangka memang sangat melekat kuat dengan kehidupan kita. Bahkan, penulis sendiri seringkali tidak sadar, jika sedang mempersangkakan sesuatu hal.

Sabtu, 18 Juni 2016

Waspada Media Sosial sebagai Ajang Propaganda Radikalisme

(Tema : Medsos: Berkah atau Musibah bagi Toleransi dan Keberagaman?)

Perkembangan zaman telah membawa kita ke dalam peradaban teknologi yang semakin canggih. Beranekaragam produk teknologi terus diciptakan dengan tujuan untuk membantu setiap aktivitas manusia. Teknologi itu berkembang seakan tiada batas dan tiada usai, yang menggambarkan bahwa kreativitas manusia memang sungguh luar biasa. Namun, manusia memang tiada yang sempurna. Di garis perkembangan teknologi yang luar biasa hebatnya, terdapat banyak oknum yang memanfaatkan hasil teknologi ini ke arah yang tidak semestinya.

Selasa, 14 Juni 2016

Beragam Media Sosialnya, Beragam Manusianya


(MedSos : Berkah atau Musibah bagi Toleransi dan Keberagaman?)

sumber : http://forum.viva.co.id/indeks/threads/15
-permainan-tradisional-agar-anak-lebih-aktif-bag-1.1977845/
Masa kecilku adalah masa yang penuh makna. Mengapa demikian? Karena masa kecilku menyimpan banyak memoriMemori akan indahnya puisi-puisi hina yang dilontarkan oleh sekian banyak manusia yang turut mengambil peran membentuk pelangi kehidupanku. Satu per satu warna itu terus diukir di langit harapan itu. Puisi-puisi hina itu memang menyayat hati di kala dulu, namun jika ku coba kembali membuka klise jadul itu, aku menuai sebuah nilai kehidupan. Nilai yang sangat langka, yang mungkin Tuhan takdirkan hanya kepada beberapa orang untuk menerimanya, dan salah satunya adalah aku.


Aku.
Aku bukanlah warga Indonesia asli, begitulah bisa ku sampaikan. Hal ini terjadi, karena ayah dan ibuku merupakan warga keturunan etnis Tionghoa. Kehidupanku dahulu, tidak layaknya kehidupanku yang sekarang ini. Sebagai anak dari seorang keturunan etnis ini, aku menerima banyak pelajaran baru dalam kehidupanku. Dari rasa sabar, rendah hati, ikhlas dan rasa-rasa lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu. Semua ini menjadi kenangan dalam album kehidupanku.